skip to main |
skip to sidebar
Beranda »
Tanpa Label »
Tunduk Pada Kebenaran
Abu Yazid bin Umairah, yakni salah
seorang sahabat Muadz bin Jabal, pernah menceritakan, “Setiap kali Muadz bin
Jabal duduk dalam satu majlis, ia pasti berkata, ‘Allah adalah Yang Maha
Bijaksana Lagi Maha Adil, sungguh Maha Suci Allah. Binasalah orang-orang yang
meragu’. Lalu ia menceritakan hadits tersebut, di mana di dalamnya disebutkan,
‘Aku pernah bertanya kepada Muadz, ‘Apa pendapatmu tentang seorang hakim yang
telah memutuskan perkara dengan salah ?’ Beliau menjawab, ‘Begini, bila
pendapat hakim jelas-jelas salah tanpa ada keraguan, maka jangan diikuti, namun
janganlah hal itu membuatmu berpaling darinya. Karena mungkin saja ia meralat
ucapannya dan mengikuti yang benar apabila ia telah mengetahuinya. Sesungguhnya
kebenaran itu membawa cahaya’.”
Dari Abdurrahman bin Abdulah bin
Mas’ud, dari ayahnya diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui
Ibnu Mas’ud dan berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, ajarkan padaku beberapa
kata yang sederhana dan padat lagi berguna.” Abdullah berkata, “Janganlah
engkau menyekutukanNya dengan sesuatu pun, berjalanlah seiring dengan ajaran al
Qur’an ke manapun engkau mengarah, dan barangsiapa yang datang kepadamu membawa
kebenaran, terimalah, meskipun ia orang yang jauh yang engkau benci, dan
barangsiapa yang datang kepadamu membawa kebatilan, tolaklah, meskipun ia
adalah kerabat yang engkau cintai.”
Mutharrif telah menceritakan, “Kami
telah mendatangi Zaid bin Shuhan. Beliau kala itu berkata, “Wahai hamba-hamba
Allah, milikilah sifat mulia dan berbuatlah kebajikan. Sesungguhnya sarana para
hamba mendapatkan keridhaan Allah hanya dua hal: rasa takut dan rasa tidak
puas.” Suatu hari, aku menemui beliau. Kala itu orang-orang telah menulis surat
kepadanya yang isinya: “Sesungguhnya Allah adalah Rabb kita, Muhammad adalah
Nabi kita, al-Qur’an adalah imam kita, barangsiapa yang sependapat dengan kami,
maka kami dan mereka adalah sama. Dan barangsiapa tidak sependapat dengan kami,
tangan kami akan bertindak atas mereka. Kami adalah kami.” Diceritakan, bahwa
beliau menyodorkan surat itu kepada teman-temannya satu persatu sambil
bertanya, “Apakah engkau menyetujuinya?” Hal itu terus beliau lakukan, hingga
sampai kepadaku. Beliau bertanya, “Apakah engkau menyetujuinya wahai anakku?”
Aku menjawab, “Tidak.” Zaid berkata, “Janganlah kalian terburu-buru menyikapi
anak ini. Apa pendapatmu wahai anakku?” Aku menjawab, “Sesungguhnya saya tidak
akan menerima perjanjian selain perjanjian yang telah Allah ambil atas diriku.”
Maka orang-orang itu pulang semuanya, setelah jatuh pertanyaan kepada orang
terakhir, dan akhirnya tak seorang pun di antara mereka yang menyetujui
perjanjian itu. Padahal mereka adalah orang-orang terhormat yang berjumlah tiga
puluh orang.”
Adz Dzahabi menceritakan, “Dalam
Musnad Syafi’i disebutkan riwayat dengan sima’i (dengan cara mendengar), Abu
Hanifah bin Samak telah mengabarkan kepada saya, Ibnu Abi Dzi’bin telah
memberitakan kepada kami, dari al Maqburi, dari Abu Syuraih, bahwa Rosulullah
bersabda, “Barangsiapa terbunuh sanak familinya, ia memiliki salah satu dari
dua pilihan: kalau suka, ia bisa meminta qishash, kalau suka ia juga bisa
mengambil diyat (uang ganti rugi).” Aku bertanya kepada Ibnu Abi Dzi’bin,
“Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatmu?” Beliau memukul dadaku sambil
berteriak keras sampai membuatku kesakitan, sambil berkata, “Apakah layak
apabila aku menyampaikan hadist Rosulullah kepadamu, lalu engkau bertanya
kepadaku, “Apakah engkau menjadikannya sebagai pendapatku?” Jelas aku
menjadikannya sebagai pendapatku, dan itu adalah kewajiban atas diriku dan atas
setiap orang yang mendengarnya. Sesungguhnya Allah memilih Muhammad dari
kalangan manusia lalu melalui beliau Allah memberi petunjuk kepada mereka
melalui kedua tangan beliau. Maka satu kewajiban atas umat manusia untuk
mengikuti beliau dengan penuh ketaatan dan penuh ketundukan. Tak ada jalan lain
bagi seorang muslim.”
Saudariku,
Jadikanlah hati kita ini hati yang hidup, hati yang sehat, hati yang selamat,
yang jika ia mendengar suatu perintah agama (syari’at) sesuai Al Qur’an dan As
Sunnah, maka ia melaksanakan tanpa menanyakan sebabnya, begitu juga saat
mendengar ada larangan syari’at. Janganlah kita menimbang-nimbang, jika nanti
perintah/larangan itu menguntungkan kita, maka kita akan patuh padanya. Jika
ini yang kita lakukan, maka ketundukan kita terhadap kebenaran bukanlah karena
mencintai Allah dan RosulNya, tapi karena hawa nafsu, dan ini termasuk syirik,
karena kita beramal bukan karena Allah.
Artikel terkait :
0 komentar "Tunduk Pada Kebenaran ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar