skip to main |
skip to sidebar
Beranda
»
RELIGI
»
Pesantren Masa Kini, Dari Laundry Hingga Batur
Seperti
di Jogjakarta, kota yang dikenal sebagai kota pelajar ini juga memiliki banyak
pondok pesantren yang berpengaruh. Penulis melakukan pengamatan di 5 komplek
yang dianggap mewakili dari masing-masing pesantren yang ada di Krapyak dengan
perincian komplek 1,2,3 dan 4 dari pesantren A, komplek 5 dan 6 dari pesantren
B. Masing-masing komplek ini memiliki perbedaan yang cukup kontras. Pesantren
A, komplek 1 terdiri dari santri putri dengan mayoritas berstatus mahasiswa
dari berbagai universitas di Jogjakarta. Komplek 2 terdiri dari santri
mahasiswa putra, komplek 3 mayoritas santri putri berstatus pelajar Tsanawiyah(setingkat
SMP) dan Aliyah(setingkat SMA). Komplek 4 mayoritas santri putra
berstatus pelajar Tsanawiyah dan Aliyah. Sedangkan pesantren B
hanya diambil 2 komplek karena sistem pembagian kamar bukan berdasarkan
tingkatan pendidikan formal melainkan blok kamar. Dikomplek 5 terdapat 6 blok
yang terdiri atas santri putri, di komplek ini baik pelajar tsanawiyah, aliyah
dan mahasiswa becampur menjadi satu. Masing-masing kamar memiliki komposisi
penghuni yang beragam karena peraturan pembagian kamar hanya berdasarkan quota
kamar saja. terakhir komplek 6 yang menjadi tempat tingal bagi santri putra.
Kondisinya sama dengan komplek 5 baik dari kondisi tempat maupun sosialnya.
Masing-masing komplek ini memiliki persamaan dari segi santri yang memiliki
status ganda sebagai pelajar disekolah formal, baik sekolah formal dalam satu
yayasan maupun tidak. Mayoritas santri yang tinggal di dua pesantren ini adalah
perantauan dari berbagai daerah dengan kondisi perekonomian menengah ke atas.
Disamping itu pola bergaul dan gaya hidup santri yang terjadi dikedua tempat
ini relatif sama keadaannya, mulai dari cara berpakaian, tempat nongkrong,
penggunaan alat elektronik hingga konsumsi jasa laundry. Fenomena maraknya
santri yang mulai tergantung dengan kehadiran laundry ini bisa dibuktikan dari
jumlah outlet laundry di daerah Krapyak yang mencapai angka empat belas, tiga
diantaranya dikelola langsung oleh pengasuh pesantren yang bersangkutan.
Pada
awalnya laundry hadir sebagai bisnis sampingan yang mendukung sebuah instansi,
lembaga atau bidang usaha lainnya, seperti : rumah sakit, panti kompo, pusat
rehabilitas, dan sebagainya. Sifatnya yang eksklusif membuat laundry saat itu
hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Kalaupun bersifat kommersil, itu hanya
sebatas mitra usaha industrial seperti, pabrik, restoran, hotel dan kantor
dimana segmentasi dari usaha ini bukanlah masyarakat secara luas. Namun sejak
laundry diperkenalkan dengan sistem yang lebih merakyat, laundry ternyata mampu
merebut perhatian masyarakat jogja yang mayoritas adalah orang-orang
perantauan.
Kedua, pada umumnya santri yang tinggal di pesantren Krapyak
memiliki status ganda sebagai pelajar disekolah formal. Hal ini menjadikan
mereka memiliki waktu yang relatif lebih sedikit untuk mengurus hal-hal yang
bersifat pribadi seperti halnya masak, mencuci, dan menyetrika. Melaundrykan
pakaian tentu menjadi sebuah pilihan yang menarik. Bila kita kalkulasikan jika
setiap minggu setiap anak rata-rata 5 Kg dengan asumsi 1 Kg terdiri atas 4
potong pakaian, harga standar perkilo yang ditawarkan di daerah Krapyak adalah
Rp 3.000,00, maka setiap minggunya ia cukup mengeluarkan uang rata-rata sebesar
Rp 15.000,00 untuk mendapatkan pakaian bersih, harum dan rapi dalam waktu yang
relatif singkat. Tanpa harus berkutat dengan deterjen, membuang energi dan
waktu, ini sebuah alternatif bagi yang menginginkan kepraktisan. Dengan
melaundrykan pakaian, mereka menjadi mempunyai lebih banyak waktu kosong yang
bisa mereka pergunakan untuk mengikuti kegiatan intra-ekstrakulikuler pesantren
maupun sekolah formal. Dari pengamatan penulis dilapangan, banyak dari
santri-santri yang melaundrykan ini berpendapat bahwa sangat tidak relevan bila
kegiatan-kegiatan mereka tertunda hanya karena urusan pakaian kotor.
Batur
(beberapa menyebutnya, khadim, tiyang ndalem) adalah orang kepercayaan pengasuh
pesantren yang dipekerjakan secara khusus. Fenomena batur banyak terjadi
dipesantren jawa dan entah sejak kapan keberadaanya mulai ada dalam dunia
pesantren.Kedudukannya abstrak, karena disatu sisi ia berstatus sebagai orang
yang dipekerjakan entah itu pekerjaan rumah seperti masak, membersihkan rumah
pengasuh, melayani tamu, dll; namun ia bukan buruh yang mendapatkan upah dari
hasil keringatnya apalagi tunjangan lembur mengingat batur ini tidak memiliki
jam kerja yang pasti dan bisa diprediksikan. Di sisi lain ia berstatus santri
yang juga mengikuti kegiatan pesantren. Hanya saja, ia memiliki kedudukan yang
cukup diistimewakan, karena tak jarang ia tidak diberlakukan
peraturan-peraturan pesantren yang ada. Seperti membayar biaya hidup, mengikuti
kegiatan santri sepenuhnya, hingga penempatan kamar yang tidak dibaurkan dengan
santri yang lain. seringkali batur ini disekolahkan formal secara Cuma-cum oleh
pengasuh.
Masing-masing
memiliki wilayah kerja masing-masing sesuai dengan kapasitas batur. Tidak hanya
masalah rumah tangga kyai yang menjadi tanggung jawab mereka, melainkan mereka
inilah yang sekaligus menjadi pegawai dibisnis pesantren. Sebut saja S,
sehari-hari ialah yang mengurusi masalah pakaian kotor keluarga kyai selain
membantu memasakkan makanan untuk santri di komplek 1. Disamping itu, ia
pulalah yang dipercayakan kyai untuk mengelola laundry pesantren di komplek 1.
Dalam sebulan, ia mendapatkan penghasilan bersih + Rp 400.000,00 dari
laundry, uang ini kemudian ia setorkan sepenuhnya kepada kyai. Diwaktu senggang
adakalanya ia menjual gorengan kepada santri dikomplek 1 dan 3. Sama halnya
dengan laundry, hasil dari penjualan gorengan ini ia setorkan sepenuhnya kepada
kyai, ia tidak mendapatkan sepeserpun uang dari bisnis laundry ini. sebagai
gantinya ia mendapatkan uang jajan sebesar Rp 120.000 perbulan. Di luar itu ia
hanya mendapatkan jatah baju dari kyai sebesar Rp 75.000,00 diakhir tahun. Kita
tentu akan berpendapat bahwa hal ini tidak sebanding dengan apa yang dilakukan
oleh S. Apalagi, diluar pesantren ia tercatat sebagai salah satu mahasiswa UIN
sunan kalijaga semester tiga. Kita akan bertanya, bagaimana ia bisa mencukupi
kebutuhan operasional kuliahnya. Itulah alasannya ia membuka usaha counter
elektronik yang dijual kepada santri komplek 1.
Artikel terkait :
0 komentar "Pesantren Masa Kini, Dari Laundry Hingga Batur ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar