Islam manakala membolehkan praktek
hutang piutang jika sesuai dengan etikanya, bukanlah tanpa tujuan. Banyak
hikmah mulia yang bisa dipetik, baik oleh si pemberi pinjaman maupun si
peminjam. Di antaranya: guna menumbuhkembangkan ruh saling membantu dan
kepedulian sosial terhadap sesama.[1]
Alkisah, orang-orang jahiliyah
dahulu manakala memberikan pinjaman, mereka menentukan jatuh tempo
pengembalian. Apabila si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang
telah ditentukan, dikenakanlah bunga sebagai kompensasi penambahan waktu
pembayaran.[2] Yang bunga itu akan semakin bertambah dengan
berjalannya waktu. Sehingga si peminjam akan sangat sengsara karena terbebani
dengan hutang yang semakin berlipat ganda.[3]
Maksud “sedekah” dalam ayat ini
adalah membebaskan si peminjam dari kewajiban mengembalikan pinjamannya, baik
secara total maupun parsial.[4]
Jawabannya: boleh bahkan
disunnahkan.[6] Sebab Nabi shallallahu’alaihiwasallam
pun dalam banyak hadits sahih, diceritakan seringkali mempraktekkan hal itu
manakala membayar hutang.[7] Dan beliau juga pernah bersabda,
Beda antara perilaku mulia ini dengan praktek tercela tersebut di
awal tulisan, adalah: di sini tidak ada pensyaratan di awal atau kesepakatan di
muka harus mengembalikan pinjaman dengan nilai lebih. Namun benar-benar
inisiatif sepihak dari si peminjam.[8]
[1] Baca: Ahkâm ad-Dain – Dirâsah Hadîtsiyyah
Fiqhiyyah karya Sulaiman al-Qushayyir (hal. 21-22).
[2] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (VI/49).
[3] Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl
al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
[4] Periksa: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 98).
[5] Tafsîr al-Jalâlain (hal. 56).
[6] Baca: Syarh Shahîh Muslim karya Imam
an-Nawawy (XI/39).
[7] Lihat berbagai hadits tersebut beserta takhrijnya
dalam Ahkâm ad-Dain (hal. 235-250).
[8] Syarh Shahih Muslim (XI/39).
0 komentar "Hutang-Piutang: Lahan Basah Bisnis?", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar