PESANTREN DAN PEMBENTUKAN PRILAKU SANTRI







Kata “Pesantren” berasal dari kata “santri” [1] dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Atau pengertian lain mengatakan bahwa pesantren adalah sekolah berasrama untuk mempelajari agama Islam.[2] Sumber lain menjelaskan pula bahwa pesantren berarti tempat untuk membina manusia menjadi orang baik.[3]
Sedangkan asal usul kata “santri”, dalam pandangan Nurcholish Madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.[4] Di sisi lain, Zamkhsyari Dhofier berpendapat bahwa, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[5] Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata “cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.[6]
Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd. Rahman al-Nahlawi[19], seorang tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefisikan ibrah dengan suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapam mempengaruhi hati untuk tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku yang sesuai.

Mauidzah berarti nasehat[21]. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah sebagai berikut.
  1. perlu adanya bukti yang kuat tentang adanya tindak pelanggaran;
  2. hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas dendam dari si pendidik;
  3. harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar, misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis pelanggaran disengaja atau tidak.
Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir[25]. Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren. 



Dengan perubahan itu diharapkan santri mampu memahami ilmu-ilmu umum sekaligus agama secara berimbang. Semboyan salah seorang pengasuh Pesantren Darul Ulum, Dr. K.H. Musta’in Romli (1930-1985), yaitu santri harus “berotak London dan berhati Masjidil Haram”[31] merupakan gagasan yang menarik. “Berotak London” menggambarkan keluasan penguasaan ilmu pengetahuan, dan “Berhati Masjidil Haram” menggambarkan kedalaman pemahaman dan pengamalan keagamaan santri. Semua itu akan menggambarkan keseimbangan antara kekuatan pikir dan dzikir dalam diri santri. Santri yang kelak mampu berpartisipasi dalam kemajuan jaman dengan tetap selalu dekat dengan Allah.




0 komentar "PESANTREN DAN PEMBENTUKAN PRILAKU SANTRI ", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar