Kata
“Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak.[1] Menurut Purwadarminta
kebenaran mengandung beberapa arti, yakni 1.Keadaan (hal dan sebagainya) yang
benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran ini
masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2.
Sesuatu yang benar (sungguh-sungghu ada, betul-betul demikian halnya dan
sebagainya); misal kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran;
kelurusan hati; misal tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran
hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5.
Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran
saja.[2]
Telaah
dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis.
Menurut A.M.W. Pranaka tiga jenis kebenaran itu adalah 1. Kebenaran
epistimologikal; 2. Kebenaran ontologikal; 3. Kebenaran semantikal.[3]
Kebenaran
mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah
dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan
antara konsekuensi dan fakta observasi.[4]
Suatu teori
adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu
tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan
itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah
kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang
selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Apa yang
diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklaim suatu pernyataan adalah sebagaimana
yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah
“representasi atas objek” atau cermin atas itu. Tarski menekankan teori kebenaran
korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut
untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang
diselamatkan Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat
“objektif”, karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang
bersifat subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu
anggapan atau kepercayaan.
Cara
untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari berbagai cara untuk menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang
ilmiah dan yang nonilmiah. Cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan
oleh Hartono Kasmadi, dkk., sebagai berikut.[5]
Kebenaran
ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya
menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif,
didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang yang
berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[6]
Kebenaran ilmiah diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan
penalaran logika ilmiah.
Banyak
sekali para ahli yang berpendapat mengenai teori kebenaran. Dalam makalah ini
akan dijelaskan teori kebenaran ilmiah menurut Michael Williams. Menurutnya ada
lima teori kebenaran, yaitu 1) kebenaran koherensi, 2) kebenaran korespondensi,
3) kebenaran pragmatis, 4) kebenaran performatif, 5) dan kebenaran proporsi.[7]
Teori
kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua.
Teori ini berpandangan bahwa suatu proporsi bernilai benar apabila saling
berkesesuaian dengan dunia kenyataan.[8]
Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan fakta, yang berselaras dengan
realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[9]
Dengan demikian kebenaran ini mencoba untuk membutikan kemanunggalan antara
subjek dan objek.
“Dan apakah
orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu keduanya
menyatu, kemudian kami pisajkan antara keduanya” (QS. Al Anbiya’ : 30)[10]
“Dan apakah orang-orang
yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah
suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”. (QS. Al Anbiya’ : 30)[11]
Teori
kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsitensi. Pengertian
dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori kebenaran yangØ
medasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui kebenarannya. Sederhanya dari teori ini adalah pernyataan dianggap benar
apabila bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.[12]
Menurut
teori ini putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling berhubungan dan
saling menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a
systematic coherence kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis; Truth is
consistency kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan.[13]
Adapun pencetus teori ini adalah Plato dan Aristoteles.
Contoh
lain dari kebenaran ini adalah (1) semua manusia pasti mati. (2) socrates
adalah manusia. (3) Sokrates pasti mati. Kebenaran (3) hanya merupakan
implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada, yaitu bahwa (1) semua manusia
pasti mati, dan (2) socrates adalah manusia. Dalam arti ini, kebenaran (3)
sebenarnya sudah terkandung dalam kebenaran (1). Oleh karena itu, kebenaran (3)
tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyatannya sokrates mati atau tidak.[14]
Perintis
teori ini adalah Charles S. Pierce yang dikembangkan lebih lanjut oleh William
James dan John Dewey. Menurut James yang benar adalah yang konkrit, yang
individual, dan yang spesifik. Sementara menurut Dewey kebenaran pragmatis itu
kebenaran yang mempunyai kegunaan praktis.[15]
Menurut
teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atau sifat sesuatu,
tatapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka
cukup melakukan tindakan
konsesi (setuju/menerima/ membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan.[16] Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan
Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan
“salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar
berarti proposisi itu menyatakan sesuatu
yang memang dianggap benar. Menurut teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar jika
ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas
sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.[17]
Menurut
Aristoteles, proposisi (pernyataan) dikatakan benar apabila sesuai dengan persyaratan
formal suatu proposisi. Menurut
teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan
materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini
akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman,
kemampuan, dan usia mempengarauhi kepemilikan epistimo tentang kebenaran.[18]
Manusia
adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dan karakteristiknya sendiri meberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang
alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau teori yang lain mengutamakan akal,
budi, rasio manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber
dari Tuhannya.[19]
- Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
- Tingkatan ilmiah merupakan pengalaman-pengalaman yang didasarakan melalui indera, diolah dengan rasio.
- Tingkatan filosofi, rasio dan pikiran murni, serta renungan yang yang mendalam untuk mengolah suatu kebenaran agar semakin tinggi nilainya.
- Tingkatan religius merupakan kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas iman dan kepercayaan masing-masing.
0 komentar "HAKIKAT DAN TEORI KEBENARAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar